Saya duduk bersama seorang warga lokal Bali, seorang petani tua yang masih menjaga tanah leluhurnya, dan bertanya padanya: “Apa yang terjadi dengan pulau ini sejak kedatangan para digital nomad dan orang asing kaya itu?”
Ia tersenyum sopan. Warga Bali memang dikenal ramah. Tapi ketika saya mulai bertanya lebih dalam—bukan tentang keindahan sawah atau pantai, melainkan tentang kenyataan di balik semua gemerlap itu—wajahnya berubah. Matanya menyimpan luka.
"Kami menjual tanah kami… karena kami tidak tahu apa lagi yang bisa kami lakukan."
Bayangkan, Anda memiliki sebidang tanah yang telah diwariskan turun-temurun. Lalu, suatu hari datanglah orang asing yang membawa satu tas penuh uang tunai—sekitar Rp120 juta—dan meminta Anda menjualnya. Itu jumlah yang tampak besar jika Anda hanya seorang petani dengan penghasilan sederhana. Jika Anda menolak, mereka lipat gandakan tawaran itu. Rp240 juta. Rp480 juta. Bahkan sampai Rp3 miliar. Dan akhirnya, tanah itu pun berpindah tangan.
Lalu tanah tersebut diubah menjadi hotel butik, beach club, atau vila mewah.
Tapi yang tak terlihat oleh dunia adalah kenyataan pahit yang terjadi setelahnya. Para petani ini, setelah menjual tanah mereka, tidak tahu harus berbuat apa. Mereka membeli mobil, pakaian bagus, atau barang yang selama ini hanya bisa mereka lihat dari kejauhan. Namun mereka tidak pernah diajarkan cara mengelola kekayaan. Mereka tidak tahu soal investasi. Dan uang itu, sedikit demi sedikit, habis. Hanya menyisakan penyesalan.
“Kami kehilangan tanah… dan tidak mendapatkan apa pun sebagai gantinya.”
Kini, sebagian besar warga Bali kehilangan aset terpenting mereka: tanah. Mereka kehilangan sumber kehidupan. Dan ironisnya, dengan menjual tanah itu, mereka juga menaikkan nilai kawasan tempat tinggal mereka sendiri. Harga tanah melonjak. Rumah menjadi tidak terjangkau. Mereka secara harfiah "mengusir" diri sendiri dari tanah kelahiran mereka.
Dan bagi mereka yang bertahan?
Mereka menjadi pelayan.
Untuk bisa hidup, mereka harus bekerja di hotel-hotel mewah, restoran mahal, atau beach club milik orang asing. Mereka menyajikan makanan kepada turis, merapikan tempat tidur untuk para pengunjung asing, sementara mereka sendiri hidup di pinggiran, terjepit oleh harga dan keterasingan.
“Kami bukan lagi pemilik negeri ini. Kami hanya penjaga pintunya.”
Sang petani juga berkata, bahwa praktik bertani secara organik dan tradisional kini semakin tak diminati. Kenapa? Karena sistem itu tidak kompetitif. Jika ingin bertahan, mereka harus memakai pestisida, sistem tanam monokultur, dan meninggalkan kearifan lokal. Makanan sehat yang mereka hasilkan dijual dengan harga sangat rendah, tetapi di restoran mewah hanya beberapa kilometer jauhnya, makanan itu dijual dengan markup berkali-kali lipat.
Ketimpangan itu nyata. Menyesakkan.
Ini bukan ekonomi yang sehat. Ini ekonomi yang timpang dan tidak berkelanjutan. Bali menjadi indah di mata luar, tapi rapuh dan berbahaya bagi akar budaya dan rakyatnya sendiri. Janji-janji yang dulu mereka dengar—seperti infrastruktur yang membaik, perbaikan jalan, rumah sakit yang layak—semuanya tidak pernah diwujudkan. Hanya janji kosong. Karena warga lokal tidak punya kuasa untuk menuntut.
Sekarang bayangkan ini terjadi selama satu generasi, dua generasi. Anak-anak yang lahir di Bali hari ini akan tumbuh menyadari bahwa mereka bukan pemilik tanah ini, tetapi pelayan bagi orang-orang kaya yang datang dari negeri asing. Mereka akan melihat bahwa hidup mereka tidak lebih baik dari orang tua mereka. Mereka tidak lagi tinggal di rumah sawah yang damai, tetapi di sudut-sudut kota yang sempit dan mahal.
“Kami dilahirkan di sini… tapi kami bukan tuan rumahnya lagi.”
Itulah kenyataan yang tak tampak di brosur pariwisata.
Dan yang paling mengerikan? Kita hanya butuh satu pemimpin populis, satu orang yang menyuarakan kemarahan ini dengan lantang, untuk membangkitkan gelombang perlawanan yang bisa berubah menjadi kekacauan. Karena narasi tentang ketidakadilan bukan hanya retorika, tapi nyata di sini.
Bali sedang dijual. Perlahan. Dalam diam. Dalam senyuman yang menyembunyikan luka.Dan jika kita tidak berhenti dan bertanya, kita semua akan menjadi saksi dari hilangnya sebuah budaya… oleh uang dan ketidaktahuan.
Tambah Komentar Baru